Minggu, 29 Juli 2012

Membangun Dialog Teologis Agama Agama

      Agama merupakan diskursus yang sangat sensitif,mudah menimbulkan gejolak,bahkan pertumpahan darah.Klaim-klaim kebenaran(claim of truth) _bahwa agamalah yang mutlak benar_dan klaim penyelamatan(claim of salvation)_bahwa jalan ke sorga hanya ada pada agamanya sementara agama lain adalah jembatan-jembatan menuju neraka_ssering muncul cara pandang umat beragama.Fenomena ini kerap melahirkan sikap-sikap primordialisme sempit,yang secara sosiologis,telah membuat berbagai konflik sosial politik,yang berimplikasi pada perang antar agama dan timbulnya kekerasan atau" perang suci" dengan mengatasnamakan kebenaran suci,serta membawa seseorang pada prasangka-prasangka epistemologis yang membenarkan diri sendiri.
    Klaim klaim di atas berakar dari adanya penerapan standar ganda(double standard)dalam memahami fenomena keagamaan.Standar yang dipakai untuk agamanya sendiri adalah standar ideal.Sehingga,meminjam ungkapan Arthur J.D'Adamo,agamanya sepenuhnya diyakini:a).bersifat konsisten dan berisi kebenaran-kebenaran tanpa kesalahan sama sekali.,b).bersifat final dan lengkap, c).satu-satunya jalan keselamatan.
     Padahal Tuhan dan kebenaran agama hakiki,meminjam istilah Jacques derrida,adalah la differance.Artinya dalam penghayatan agamanya sendiri,orang mesti sadar  akan kebenaran Allah yag differance.
     Menganggap keyakinan sendiri paling benar adalah kekurangdewasaan dalam menghadapi dan memahami hakikat agama.Untuk membangun pergaulan agama-agama yang lebih humanis dan untuk merelativisasi potensi potensi kekerasan umat beragama yang bisa muncul dari klaim klaim kebenaran sepihak itu,tampaknya jalan yang ditempuh untuk mengatasinya adalah dengan memperluas pandangan inklusif dan visi religiositas dari diri orang yang beragama dan agama mesti betul betul humanistik serta terbuka.Dan keyakinan yang harus ditanamkan dalam diri ketika melakukan dialog adalah mirip dengan ucapan Abu Hanifa,"pendapat kita benar,tapi(mungkin)mengandung kesalahan,dan pendapat mereka salah ,tapi(mungkin) mengandung kebenaran.
     Pola hubungan "Aku dan Engkau(ich und du),dalam bahasa teolog kristiani Martin Buber,seperti yang di ungkapkan Abu Hanifa itu adalah hubungan atau dialog dengan orang lain sebagai pribadi yang hidup.Cara pandang ini adalah cara pandang yang dipakai sains dalam menilai diri dan kebenarannya.Sains selalu terbuka untuk dikoreksi ,hukum-hukumnya selalu diusahakan untuk dibuktikan salah (falsifiable)dan pada tingkat teori pun masih bersifat hipotesis.Ini jelas berbalik dengan cara pandang agama yang selalu menganggap benar dan tertutup.Memasukan cara pandang sains pada wacana keagamaan ini sangat perluh,karena siapa tahu kalau sesuatu yang dianggap dogma dari Tuhan ternyata socially constructed dan apa yang dikira absolut ternyata relatif dan nisbi.